Kantong plastik masih banyak digunakan di dunia untuk mengemasi barang-barang belanjaan di toko, pasar maupun swalayan.
Banyak orang yang masih belum sadar untuk reuse
kantong ini. Selain untuk menyelamatkan bumi (lantaran bahannya tidak
bisa hancur didalam tanah dan butuh proses khusus demi mendaur ulangnya
sehingga butuh biaya dan mengotori udara atas pembakarannya),
menggunakan kantong plastik bekas juga mendukung program berhemat pos
belanja.
Di
Jerman, plastik kecil diharga 10 sen, bayangkan kalau harus setiap saat
membelinya. Setahun sudah berapa? Belum limbahnya. Tong sampah plastik
rumah tangga ukuran 60 liter misalnya, dikenai 4 euro perbulan,
pengosongannya seminggu sekali.
Itulah mengapa banyak peringatan tentang reuse
ini pada kantong plastik Jerman, banyak pula orang Jerman yang lebih
memilih keranjang lipat, tas dengan dorongan, kantong gandum atau
menggunakan plastik yang dahulu pernah dibeli/didapat.
Bagaimana dengan kebiasaan mengemasi belanjaan di daerah Kompasianer?
***
Kantong plastik, dilipat segitiga
Suatu
hari, kompasianer Cici dan saya berbelanja bersama anak-anak. Ketika
membayar, mbak Cici menanyakan apakah sebaiknya ia membeli kantong
plastik atau tidak. Saya menyarankan agar tidak usah saja, apalagi ada
keranjang dari toko. Selain barang yang
akan dibawa pulang ke rumah bisa dibawa tanpa kantong, toh mobil saya
diparkir tepat di depan toko. Saya bilang, jangan mengumpulkan sampah.
Saya saja kadang repot meski sudah banyak reuse plastik. Saya terbiasa
menggunakan ulang plastik untuk tempat pakaian dan handuk basah sehabis
renang, mengantongi bungkus makanan, bekas botol plastik dan sampah
plastik kecil lainnya ke dalam plastik besar, baru dibuang ke tong
sampah bertutup kuning. Termasuk untuk mewadahi barang usai berbelanja,
jadi sudah tersedia di tas tangan atau di dalam mobil dengan lipatan
segitiga emas.
Saya
belajar melipat segitiga ini sewaktu umur 19 tahun dalam sebuah
pertemuan Asia-Pasifik. Belajar dari kawan Filipina. Sayang, plastik
Asia biasanya lebih tipis. Di Jerman, saya banyak menemukan yang
berbahan tebal ketimbang yang tipis. Yang tipis biasa saya dapatkan di
toko Asia saja.
Sebelumnya, saya mengenal pengumpulan plastik di rumah dengan diuwel-uwel (red: digulung sembarangan) dan dijadikan satu dengan plastik lain, di dapur.
Ohhh. Masih ingat saya kalau belanja sama suami di Semarang. Ya
ampuuuuun, untuk belanja seminggu, kantong plastiknya ada kalau 10
biji. Memang disendirikan mana yang berbahan kimia, mana yang kering,
mana yang basah dan seterusnya. Lahhh tapi tak pikir-pikir habis belanja
kok sampah plastik menggunung. Padahal di Indonesia manajemen daur
ulang masih kurang. Begitu langganan mbok tukang sampah, weee …
sampahnya dibuang di kali belakang rumah. Walahhhh, yuuuu!
Di Jerman, ada peringatan di kantong plastik. Antara lain menuliskan “Mencintai
lingkungan, kantong plastik ini dibuat dari bahan daur ulang khusus,
Polyethylen dan bisa digunakan berulang kali. Harap berhati-hati dengan
menjauhkan plastik ini dari anak kecil dan bayi agar tidak terjadi
kecelakaan. Kantong ini bukanlah mainan.“ Ditambah dengan logo pendukung ramah lingkungan. Peringatan yang baik, maklum manusia gemar lupa.
Keranjang lipat
Selain
itu, saya juga bercerita kepada mbak Cici yang barusan pindahan, bahwa
sejak pindah ke Jerman 7 tahun lalu, saya amat berubah dalam kebiasaan
membeli atau menggunakan kantong plastik. Perangkat belanja saya selalu
masuk di bagasi (keranjang lipat dan keranjang rotan/plastik).
Maklum
belanja saya biasanya hanya seminggu sekali, hemat waktu, tenaga dan
uang. Hehehe … kalau belanja tiap hari bisa boros dan matanya ijo pengen
ini itu.
Untung mengecek bahan makanan/minuman selalu saya lakukan dan dicatat di HP atau sebuah kertas.
Saya
suka keranjang lipat karena bisa dilipat kalau sedang tidak dipakai,
menghemat tempat. Untuk mewadahi botol kosong yang hendak ditukarkan
uang di toko/swalayan juga sip. Sekalian dibawa untuk ditukar, pulangnya
untuk memasukkan belanjaan. Untuk membersihkannyapun mudah. Bahannya
dari plastik, tinggal dilap atau diguyur air dan digosok dengan sikat
cucian tambah cairan pembersih. Dan dikeringkan, siap dipakai lagi.
Keranjang
ini harganya hanya 2 euroan. Saya sudah memakai 3 buah selama 6 tahun
ini. Masih awet. Asal hati-hati dalam memakainya dan tidak dibanting,
semoga seumur hidup hehehe.
Keranjang rotan/plastik
Keranjang
dari rotan adalah bagian dari sebuah tradisi Jerman. Kalau saya belanja
dengan menggunakan keranjang ini ke toko roti atau daging, kawan-kawan
saya dari Jerman tertawa:
“Waaaa … sudah pantas jadi orang Jerman, pakai keranjang rotan.“ Padahal orang Jerman sebaya saya, jarang yang pakai keranjang jenis ini, hanya generasi tua saja. Yo ben, suka sihhhh. Oldie memory. Kalau orang Jerman yang muda tak mau melestarikan dan malu, saya masih niat. Hehe. Unik, sih.
Tas lipat kecil
Nah, ternyata dari mbak Cicilah saya tahu bahwa wanita di Indonesia sudah gemar membeli atau memiliki tas lipat yang bisa dimasukkan ke tas tangan. Bisa digunakan sewaktu-waktu belanja atau mewadahi barang besar.
Saya dibelikan satu. Yuhuuuu. Terima kasih, mbak Cici.
Oh,
katanya, harganya bisa murah bisa mahal, tergantung merk dan kualitas
tas lipat. Di toko satu euro Jerman, biasanya bahannya dari plastik
dengan beragam warna dan motif. Praktis tapi kalau barangnya berat bisa
jebol.
Kantong gandum
Kantong ini marak dijadikan souvenir perusahaan, toko dan swalayan di sekitar tempat tinggal kami.
Keuntungannya
adalah kalau kotor bisa dicuci dan bisa dilipat dimasukkan ke kantong
baju/celana atau tas tangan. Praktis nan kuat. Penggunaan berkali-kali
ini juga membawa nama baik perusahaan, toko dan swalayan karena biasa
tertera dikantong. Pendukung program umweltbewusst (red: ramah lingkungan).
Kantong dari bahan kain ini biasanya berwarna agak kecoklatan, ada yang putih, bahkan warna pink dan hitam.
Tas dorong
Saya
pernah membeli satu tas dorong. Suami saya kaget, saya ini dikatakan
seperti oma-oma Jerman. Saya bilang, ini praktis untuk berbelanja jika
parkirnya jauh. Bisa sih pakai keranjang atau tas gandum dari rumah tapi
beraaaaaaaaaaat. Kalau tas dengan roda ini praktis karena bisa ditarik
atau didorong.
Makanya banyak nenek-kakek Jerman yang memilihnya. Harganya berkisar 20 euro, bisa dipakai sampai serusak-rusaknya.
Kantong kereta bayi
Beberapa
ibu-ibu muda menyukai peletakan barang yang dibeli dibawah kereta bayi.
Mungkin saja mereka ini rumahnya tak jauh dari rumah jadi lebih memilih
berjalan kaki dan menggunakan kereta bayi untuk alat transportasi.
Saya
pernah melakukan hal ini. Sekarang tidak lagi, karena yang ragil saja
sudah umur 4,5 tahun. Tak butuh kereta bayi atau dada buggy.
Ransel dan keranjang sepeda
Karena
setiap toko dan swalayan Jerman menyediakan keranjang ketika
berbelanja, banyak pesepeda yang lebih memilih memasukkannya kedalam
ransel atau keranjang sepeda, baik yang letaknya di depan maupun di
belakang.
Buat apa beli kantong plastik? Toh ada tempat.
Sayangnya, ini hanya dilakukan di musim yang tidak dingin. Tidak selamanya bisa naik sepeda. Hehe.
***
Begitulah
cara saya dan kebanyakan orang Jerman dalam mewadahi belanjaan. Tak
selalu dengan kantong plastik. Bervariasi, ya? Sekalipun pakai kantong
plastik, ya reuse-reuse-reuse.
Oi. Bumi sedang menangis, kalau cara manusia sebagai penghuninya tidak bijak. Bencana itu akan dituai manusia sendiri.
Kalau tidak sekarang sadar soal reuse, kapan lagi? Sebelum terlambat, mari mulai bersama-sama.
Selamat menggunakan barang reuse seperti tersebut diatas untuk berbelanja dalam kehidupan, dimanapun berada. Salam lingkungan. Belanja? Jalan teruuuuus.(G76)
Sumber : Kompasiana
Sumber : Kompasiana
0 comments:
Post a Comment
*Sebelum pergi, Harap Tinggalkan Link dan Komentar Anda*